CERITA SERI -> Twinky ( Twin Pinky’s), Me and Wila : Bundaku, Mamahmu.
Kasih
ibu... kepada beta...
Tak
terhingga... sepanjang masa...
Hanya
memberi... tak harap kembali...
Bagai sang
surya... menyinari dunia...
Begitulah arti Bunda bagiku. Saat
SD, lagu itu sering kuhadiahkan pada Bunda bila perayaan hari Ibu tiba dan
Bunda sering menangis karenanya. Walaupun saat ini aku tak pernah
menyanyikannya lagi, tapi arti Bunda bagiku tak pernah berubah. Ia tetap
segalanya bagiku. Ia matahari kehidupanku.
Menurutku Bunda adalah pribadi
yang luar biasa. Tak pernah kudengar keluh kesahnya saat membesarkanku seorang
diri. Ia berperan ganda, jadi tulang punggung keluarga dan Ibu rumah tangga.
Melihat keikhlasannya sering membuatku lupa kalau aku pernah memiliki Ayah.
Sosok yang begitu asing, yang tak pernah
kutemui dan telah meninggalkan tanggungjawabnya.
“Gimana, Fa? Kamu udah nemuin
hadiah yang cocok buat Bundamu?” tanya Wila menyadarkan lamunanku tentang
Bunda. Aku hanya menggeleng. Sudah 3 jam aku berkeliling tempat perbelanjaan
ini bersama Wila, tapi belum juga kutemukan benda yang cocok kuberikan pada
Bunda untuk hadiah hari Ibu besok.
“Gimana? Dari tadi masih mikir
aja. Mau beliin Bunda hadiah apa enggak? Bundamu dikasih apa aja pasti seneng
kok. Cepetan...! Aku capek nih!” keluh Wila.
“Yaudah yuk, kita pulang aja!”
ajakku. Wila diam. Heran.
“Katanya mau kasih Bunda hadiah,
kamu kan belum dapat apa-apa. Kok pulang?”
Aku tersenyum melihat sahabatku
yang satu ini, ia malah makin heran menatapku.
“Katamu Bunda dikasih apapun
pasti seneng. Lagian walaupun kuhadiahkan semua yang ada disini, itu gak bisa
ngewakilin rasa sayangku sama dia. Terlalu kecil. Aku punya sesuatu yang lebih
baik dari sebuah kado indah,” jelasku menjawab
keheranan Wila. Wila tersenyum mengerti maksudku kamipun pulang dengan tangan
kosong.
*
Ya Allah ya Rabbi... Ku bersimpuh padamu malam ini. Mengucap
syukur atas apa yang telah kau beri selama ini. Memohon ridha dan karuniamu di
esok hariku nanti.
Ya Rab... pintaku tak lah banyak. Karena aku yakin kau telah
mencukupkanku selama ini. Aku hanya ingin senyuman Bunda. kebahagiaannya
sangatlah cukup bagiku. Tolong jaga
hatinya agar selalu dalam curahan kasih sayangmu layaknya curahan kasih
sayangnya padaku. Buatlah setiap hari adalah hari ibu bagiku. Jangan biarkan
aku melukainya, jangan biarkan air mata kesedihannya jatuh lagi membasahi pipi
indahnya. Aamiin.
Kuusap lembut wajahku, kuhapus
air mata ini. Lantas aku bergegas merapikan mukenaku. Masih pukul dua pagi,
saat dimana orang-orang masih terlelap tapi aku mendengar ada tangisan. Siapa
yang menangis? Kuberanikan diri mendekati suara itu. Perlahan kubuka pintu
kamar yang sedari tadi tertutup ternyata Bunda yang kudapati. Ia tengah
bersandar di tembok sebelah pintu kamarku.
“Bunda kenapa?” tanyaku. Ia
tersentak dan langsung memelukku. Kurasai air matanya yang jatuh dipundakku.
“Terimakasih, nak. Bunda bahagia,
karena walau tanpa ayah ternyata Bunda bisa membesarkan anak seshaleha kamu.
Semoga Allah selalu menjaga kasih sayang kita,”
Semoga bunda, batinku. Ternyata
bunda mendengar munajat malamku, ia memang biasa bangun di jam tahajud seperti
ini. dari tangisnya aku tahu kalau kasih sayang bunda padaku lebih besar dari
kasihku padanya.
“bunda, selamat hari ibu...,”
bisikku. Akupun menangis dipelukannya.
*
“Aku ke toilet dulu, Fa,” kata
Wila langsung meninggalkanku.
Aku hanya menatap punggungnya
yang menjauh. Tak seperti biasanya ia ke toilet tak minta ditemani. Belum
selesai aku menceritakan kebahagiaanku semalam ia malah pergi seperti menghindariku.
Kulihat ada raut tak biasa di wajahnya. Apa ia sedang dalam masalah?
"Tifa, tumben makan
sendirian? biasanya sama Wila," tanya salah seorang temanku, aku hanya
tersenyum meresponnya.
Memang tidak seperti biasanya aku
makan tanpa Wila, biasanya di sekolah kemanapun aku pergi selalu bersama Wila.
Dimana ada aku, di situ ada Wila. Begitulah istilahnya. Tapi istirahat kali ini
aku sendiri, Wila tadi bilang sedang tak nafsu makan dan ia hanya ingin di
kelas jadi terpaksa aku meninggalkannya. Mungkin dia sedang ingin sendiri.
Entah apa masalah yang sedang di
alami Wila tapi itu cukup membuatku sedih. Hari ini Wila jadi pendiam. Ia hanya
berbicara seperlunya padaku. Ketika kutanya ada masalah apa, diapun tak
menjawab. Aku bingung, apakah persahabatan selama 10 tahun ini tak cukup untuk
membuat dia lebih terbuka? apakah aku yang selama ini belum mengerti dia?
padahal aku selalu terbuka padanya, apapun yang kualami selalu kubagi
dengannya, kenapa dia tidak begitu? Dia selalu menutupi hatinya yang sedang
sakit itu. Padahal jika ia terbuka padaku, aku mau untuk menanggungnya bersama.
karena kita adalah sahabat.
*
"Kamu kaya anak kecil tau
nggak, tiba-tiba marah sama aku tanpa sebab," kutumpahkan keluhku pada
Wila, sudah dua hari ini aku membiarkannya sendiri, tapi untuk hari ke tiga ini
aku sudah tak tahan. Kujejeri langkahnya yang mulai menjauh itu.
"Aku nggak marah."
tegasnya, masih belum mau memandang wajahku. Ia begitu bergegas untuk segera
sampai di halte.
"Kalo kamu nggak marah,
terus kenapa kamu diem?"
"Lagi nggak mood aja,"
"Kalo kamu lagi ada masalah,
ya kamu cerita dong sama aku, La. Aku kan sahabat kamu!" kuusahakan masih
sabar tapi Wila semakin menjauh dan diam. Aku kesal.
"Begitukah sikap seorang
sahabat? saat sahabatnya menawarkan pundaknya untuk berbagi tapi dia malah
menolaknya? Kamu egois Wila!" teriaku dari kejauhan.
Langkah Wila terhenti. Ia
menoleh. Ada segurat kemarahan di wajahnya.
"Kamu yang nggak ngerti apa
itu persahabatan Tifa! Kamu yang egois," walau samar tapi aku bisa
mendengarnya. Wila tertunduk. Aku menyadari ada yang tergores di hatinya.
"Ayolah, Wila... aku ingin
jadi sahabat yang baik, aku ingin kamu terbuka padaku. Jika aku punya salah,
katakanlah!" pintaku. tapi Wila masih diam.
"Sahabat itu selalu
menghargai perasaan sahabatnya, Fa." ucap Wila lalu pergi. Kini, aku yang
terdiam.
*
Aku tak mengerti. Sampai hari
berikutnya aku tak juga mengerti. Dia tetap menghindariku. Padahal tadinya aku
ingin dia jadi orang pertama yang membaca karya tulisku untuk tugas hari ibu
yang akan dikumpulkan hari ini. tapi.. apa boleh buat. Dia masih belum mau
menyapaku.
"Wila, kamu tidak membuat
karangan yang ibu minta?" tanya guru B.Indonesia yang tempo hari meminta
kami membuat karangan tentang Ibu di hari Ibu. Wila menggeleng. Ia tertunduk.
Aku terkejut. Tak seperti
biasanya Wila tidak mengerjakan tugas. Ia adalah pribadi yang rajin dan
disiplin, jadi mana mungkin ia lupa mengerjakan atau malas? Ini pasti ada
sesuatu.
Di jam istirahat, aku menemui
Wila yang terduduk sendiri di taman sekolah. Dia tengah memandang sebuah album
foto yang usang. aku menghampiri dan duduk disampingnya.
"Ini foto keluargaku, Fa.
waktu kami belum sekaya sekarang." jelasnya tanpa aku bertanya.
"Waktu kami masih sering
bersama, waktu mamah masih mengurusku dengan tangannya sendiri... aku tak tahu
kapan tepatnya foto ini diambil. karena seperti yang kau lihat disini aku masih
sangat kecil." ucapnya sambil menunjuk potret kecilnya yang menggemaskan
itu. ia tengah di peluk kedua orangtuanya
"Tapi, betapapun usangnya
foto ini... aku akan selalu menyimpannya karena ini adalah satu-satunya fotoku
bersama mereka." jelas wila sambil tersenyum.
"Kemarin aku bingung, Fa.
gimana caranya aku membuat sebuah karangan tentang hari ibu sedangkan saat hari
ibu kemarin mereka tak pulang? Mereka terlalu sibuk mencari sesuatu yang kata
mereka untukku... padahal bukan itu yang aku harapkan,"
"kadang, aku suka iri saat
kau bercerita tentang kedekatanmu dengan Bunda... kadang, aku juga berharap
Bunda adalah mamah. Tapi itu tidak mungkin terjadi karena walau bagaimanapun
Mamah adalah orangtuaku. Ia adalah sosok istri yang begitu setia kepada
suaminya, ia selalu mendampingi papa hingga membiarkan aku menghabiskan waktu
bersama pembantu setiap harinya."
"Maafkan aku, Tifa.
Sebenarnya bukan salahmu ketika aku tak bisa sepertimu. Tapi kemarin aku memang
sedikit iri, kehidupanmu yang begitu bahagia kadangkala membuatku cemburu.
jadi, mengertilah sahabat!" Wila merentangkan tangannya dan aku
menyambutnya hangat.
Kini aku mengerti. Bagaimana
seharusnya seorang Sahabat menghargai perasaan sahabatnya. Wila begitu
kesepian. Ia sungguh merindukan mamah yang sudah 10 tahun ini jarang ada di
rumah, ia rindu kenyamanan dari papah ia sangat merindukan kasihsayang
orangtuanya.
Maafkan aku, Wila. kemarin aku
begitu bodoh... menganggap diriku adalah sahabat yang baik. Tapi ternyata aku
belum mengerti kalau kau sangat merindukan
sosok Bundaku, pada diri Mamahmu...
***
Komentar
Posting Komentar