Bangga Pernah Jadi Bagiannya...



Gemericik hujan yang tak begitu lebat namun cukup membuat kuyup jika kupaksakan diri untuk menyegerakan pulang. Tercium aroma aspal yang baru setengah basah. Terlihat beberapa orang yang terpaksa menunda jam pulang karena tidak ingin basah, juga anak karate yang tengah latihan di bawah hujan. Melihat semua itu, Aku tergelak kecil.
*
Tidak takut salah…
Tidak takut kalah…
Tidak takut jatuh…
Tidak takut mati…
Takut mati, jangan hidup…
Takut hidup, mati sekalian…!

Rangkaian suara tiba-tiba terdengar lagi. Sebuah motto yang begitu gagah namun tak sepenuhnya benar. Katanya tidak takut mati tapi cuma ada hujan saja bubar, begitu yang sering orang katakan tentang kami… PASKIBRA. Melihat anak karate yang tetap latihan ditengah hujan, aku jadi berpikir… sepertinya mereka lebih pantas menggunakan motto ini.
“Siap Gerak!” suara kang subyani terdengar tegas hingga mampu membuat barisan di depannya siap.
“Ingat, tiga belas unsur PBB dasar!” katanya, kemudian menyebutkan poinnya satu persatu.
Kami seluruh anggota hanya mendengar dengan terus bersikap siap.
Senior di depanku ini memang berbeda. Tubuhnya yang tinggi menambah kesan gagahnya. Pantas nampaknya jika ia menjadi seorang perwira TNI atau Polisi. Ia yang paling tegas diantara semua senior kami.
“Sudah, kang. Saatnya mereka istirahat,” Kang Baekuni memberi saran. Sebagai ketua memang ia paling bijak.
“Iya, kang. Kasian. Udah satu jam mereka di lapangan…,” Teh Ira menyetujui. Senior yang satu ini memang bisa diandalkan untuk membela kami.
“Istirahat merdeka… kerjakan!” instruksi Kang Subyani akhirnya. Kami bernafas lega.

Siap! Terimakasih!
Duduk…, duduk…,
Duduk…, ah!

Senandung kami setelah itu. yah, memang itulah yel ciri khas kami jika diinstruksikan untuk merdeka. Rasanya itu seperti penghibur kami setelah sejam berdiri di tengah lapangan, menantang matahari demi baris-berbaris.
“Saatnya minum…! Satu baris satu, ya…,” teriak Teh Nurul Umah sambil membagikan gelas-gelas air mineral gope-an. Teh Umenk, begitu kami memanggilnya. Ia memang yang paling loyal, karena ialah sang pengendali KAS. Bendahara.
“Kakinya selonjorin, ya… jangan ditekuk!” Teh Euis mengingatkan. Senior tercantik yang perhatian ini sekali lagi mengingatkan kami untuk tidak menekuk kaki setelah latihan karena itu dapat menyebabkan varises.
*

PASKIBRA. Sejak agustus 2011 kemarin aku telah jadi bagian dari keluarga besarnya. Entah apa motivasiku bergabung disana, yang jelas aku tertarik.
Bukan. Ini bukan karena ikut-ikutan. Dulu aku begitu ingin jadi Purna Paskibra Indonesia atau yang sering kita sebut dengan PPI. Tidak di nasional setidaknya di kabupaten. Itu semua terinspirasi dari kang Nuryasin dan Kang Abdilah, pelatihku di SMP dulu. walau sebelumnya harus mengalami pergolakan batin antara PASKIB dan Jurnalistik, akhirnya aku memantapkan diri. Mengesampingkan hobi menulisku lalu berfokus pada sebuah cita-cita, menjadi PPI.
Berat. Memang itu yang dirasakan ketika aku menjadi anggota PASKIBRA. Karena bukan hanya harus sanggup fisik, tapi juga kami dituntut untuk disiplin. Hukuman berupa push up dan squat jump telah menjadi sahabat kami hingga lama kelamaan tak terasa sebuah hukuman lagi.
“Semua tantangan yang kalian rasakan saat ini, suatu saat nanti pasti akan terasa manfaatnya.” Begitulah ucapan Pak Hendra, Pembina kami untuk periode 2011-2012.
Yah, aku setuju. Karena aku selalu percaya apa yang kita lakukan tak ada satupun yang akan sia-sia. Begitupun menjadi paskibra. banyak orang akan beranggapan bahwa menjadi paskibra adalah sebuah hal yang buang-buang. Buang-buang waktu, buang-buang tenaga, bikin item pula. Tapi mereka salah. Menjadi paskibra membuat kami berani, setidaknya itu yang kurasakan.
Bayangkan saja! Setiap kami akan naik tingkat, kami selalu dihadapkan pada situasi menyeramkan. Mulai dari prosesi makan siang hingga puncaknya pada jurit malam.
Disana, kami diajarkan untuk berani berargumen dan teguh pada pendirian juga rasa kebersamaan. Melawan setiap rasa takut.
Mulai dari cacing hingga hal berbau mistik kami tantang. Kami diajarkan untuk tidak manja dan mandiri. Tak perduli apapun yang ada dihadapan kami, jika itu saatnya makan kami mesti memakannya. Tak ada rasa jijik karena harus makan dalam sebuah wadah yang sama. Tak ada pula rasa pelit karena kita harus berbagi semuanya.
Berjalan di malam hari menuju kuburan seorang diri, aku pernah merasakannya. Jujur, sebelumnya aku paling takut dengan hal seperti itu. Rasanya waktu itu aku sudah panas dingin dan hamper pingsan karena melihat kesunyi senyapan jalan disekitarku karena waktu itu pukul dua malam. Tak perduli ada bisikan atau suara aneh-aneh, saat itu aku tetap berjalan. Tegap dan lurus. Hingga sampai pada sebuah tujuan yaitu tempat pemakaman.
Satu persatu kami bergantian untuk masuk dan mencari sebuah epolet. Sebuah benda yang begitu berharga bagi kami. Yang untuk itulah kami mengikuti pelantikan ini.
Sulit, itu yang kurasa. Adrenalin jadi semakin naik karena suasana gelap hanya diterangi sebuah lilin dan makam-makam yang terpampang jelas dihadapan. itu membuatku tertantang untuk segera mendapatkan epolet. Makam dihadapankupun sempat menjadi objek. Sampah diatasnya kusingkirkan dengan tangan kosong, tak kuhiraukan tangan yang bersentuhan langsung dengan makam.
Namun sangat disayangkan, perjuanganku tidak membuahkan hasil dan ternyata dari sekian banyak anggota hanya dua orang yang mendapatkannya. Sempat terjadi sebuah konflik yang membuatku menangis karena beradu argument, namun akhirnya kami berhasil. Tak perduli dengan hasil yang penting proses, katanya. Kami akhirnya mendapatkan epolet.
*
Sebuah rangkaian panjang yang rasanya tidak cukup jika kuceritakan semuanya disini. Walau pada akhirnya aku menyerah dan hanya menikmati selama setahun, tapi tak bisa kupungkiri PASKIBRA sedikit banyak telah membentuk watakku.
Rangkaian latihan mingguan dan pelantikan membuatku menjadi pribadi lain. Yang lebih berani dan lebih bersyukur.
Seperti saat perjalanan menuju makam kala itu, Tak perduli godaan dan ketakutan melanda, kita harus berjalan lurus hingga sampai ke tujuan, yaitu sebuah mimpi.
Jujur, aku baru merasakan manfaatnya saat ini. Semua rangkaian ospek universitas dan fakultas yang kulalui terasa sangat ringan, sedangkan disekelilingku dipenuhi dengan bisikan-bisikan keluhan. Kepada mereka yang hanya berani mengeluh dibelakang tanpa berani berargumen kukatakan, “sudah biasa, ‘kan gue anak paskibra!”
Lalu di detik selanjutnya, aku merasa bangga pernah menjadi bagian dari PASKIBRA. J



Komentar

Postingan populer dari blog ini

We are CCB…

wanita dan kodratnya

Me and I