Demi Rupiah Aku Berkamuflase

PT KAI tengah berbenah. Banyak infrastruktur perkeretaapian yang diperbaiki, pelayananpun makin ditingkatkan. Kenyamanan penumpang merupakan tujuan utama.
Dulu, kereta api ekonomi adalah sebuah sarana murah yang dijadikan transportasi utama para pedagang. Tidak hanya itu, kereta yang merupakan pasar potensialpun dijadikan tempat menjajakan dagangan bagi mereka. Apapun dapat diangkut transportasi murah meriah tersebut. Mulai dari produk pertanian hingga hewan. Namun, seiring berjalannya waktu, demi mewujudkan kenyamanan tersebut PT KAI mulai melarang praktek jual beli yang ada di kereta.
“Aman, Jo?” tanya seorang wanita berusia tiga puluhan yang tengah menjual nasi merah. Ia celingak-celinguk sambil  menuangkan sambel pada nasi pesanan salah seorang penumpang.
Pemuda yang berada di perbatasan gerbong tersebut tampak memantau gerbong sebelah. Ia menajamkan  pandangan lantas matanya membulat, “Umpetin, teh, umpetin! Polsusnya mau kesini,” perintahnya.


Baru saja menyerahkan pesanan pada pelanggan, wanita tersebut dikejutkan oleh intruksi tadi. “Uangnya nanti dulu aja, ya, say!” katanya. Serta merta ia memasukkan bakul nasi merah yang sedari tadi ditentengnya ke kolong, lantas ikut duduk bersama penumpang lain. Berbaur.
Saat petugas memasuki gerbong, tak tampak kegiatan jual beli apapun. Ia hanya mendapati penumpang-penumpang yang tengah menikmati perjalanan dengan cara masing-masing. Ada yang tidur, mengobrol ataupun menatap keadaan di luar jendela yang indah. Setelah memastikan semua aman petugas tersebut akhirnya beranjak ke gerbong selanjutnya.
Seiring langkah petugas tersebut memasuki gerbong lain, helaan nafas dari para pedagang terdengar. Merekapun melanjutkan aktivitas mereka sebelumnya.
Jika melihat sekilas, tak tampaklah dari diri mereka tampang seorang pedagang. Mereka berpakaian rapih dan formal layaknya penumpang yang lain. Bahkan seorang penjual minumanpun berpakaian layaknya seorang mahasiswa yang menenteng tas besar di belakangnya. Namun saat berjalan diantara para panumpang ia senantiasa bergumam, “Akua, akua, teh pucuk, yang aus, yang aus,” Tak akan terkira, jikalau yang ada dalam tas besarnya itu berbotol-botol minuman dingin.
Pun sama halnya dengan pedagang tahu. Ia berusaha menyembunyikan dagangan di bawah salah satu kursi penumpang, dan menjajakannya dengan menenteng satu kantung keresek berisi beberapa tahu dagangannya. Tangannya dengan lincah bersembunyi jikalau ada petugas yang datang.
Bukan apa-apa, mereka tak takut pada orang-orang itu. Hanya saja, jika mereka tertangkap basah tengah berjualan diatas gerbong, sebuah sanksi berat menanti. Bukan seperti pungutan liar. Bukan. Tetapi sesuatu yang lain.
Pernah suatu kali, saat seorang penjual tahu tertangkap menjajakan dagangannya. Dagangan tersebut di lempar hingga berserakan. Beruntung masih banyak yang utuh dan tidak terbuang. Namun ternyata ia tak kapok juga, baru saja tertangkap, ia nekat jualan lagi. Mungkin gerah dengan tingkah pedagang tersebut, saat tertangkap untuk yang ketiga kalinya akhirnya petugas tersebut melempar seluruh dagangan ke luar kereta yang sedang berjalan. Jelas tak ada yang bisa diselamatkan. Seluruh dagangan berikut wadah tempat berdagangnya kini tak ada lagi. Sang pedagang hanya gigit jari.
Penumpang yang menyaksikan peristiwa tersebut hanya bisa menatap prihatin. Bagaimana tidak? Ladang rejeki baru saja terbuang percuma. Namun mereka juga dilemma. Upaya PT KAI saat ini adalah untuk kenyamanan mereka juga. Toh, seiring dengan dilarangnya para pedagang berjualan diatas kereta tak ada pula pengamen dan tukang minta-minta. Keamanan menaiki transportasi murah meriah ini kini makin terasa. Tak ada lagi ketakutan ada tindak kriminal, karena petugas selalu siap berjaga.
Terkadang memang dipertanyakan, apa yang mengganggu dari para pedagang ini? Toh mereka hanya mencari rejeki. Mereka sangat membantu para penumpang yang merasa jenuh dan lapar dengan perjalanan kereta yang bisa memakan waktu hingga lima jam itu. Yah, mereka tidak merugikan namun menjadi pekerjaan tersendiri bagi PT KAI. Sampah yang berserakan dalam gerbong memang tak sedap dipandang. Perilaku penumpang  yang seenaknya membuang sampah menjadi salah satu alasan.
Jika saja PT KAI bisa sedikit bersimpati, dan para penumpang mau memperbaiki perilaku, bisa saja praktek jual beli terjadi di atas ular besi tersebut. Asalkan mesti ada sinergitas antara pihak-pihak terkait, hingga timbul sebuah keharmonisan baru antara satu dengan yang lain. Pedagang tak kehilangan ladang rejeki dan PT KAI mencapai tujuannya, yakni menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi para penumpang yang akhirnya terpenuhi semua hajatnya.

KA. Patas Ekonomi AC Merak – Jakarta, 13 Mei 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

We are CCB…

wanita dan kodratnya

Me and I