CINTA YANG JATUH DI ATAS PAYUNG

sumber gambar :https://vieragileventa.files.wordpress.com/2015/08/162718_620.jpg



Tuhan tidak hanya menurunkan hujan saat mendung, mungkin saja ada hal lain yang jatuh di atas payung. Cinta misalnya.
Hujan di bulan Desember. Serang sebagai kota berdataran rendah yang dekat dengan laut biasanya jarang disambangi hujan, namun pada pukul tiga sore ini kota madani itu masih gerimis. Rintikan air yang tidak lebat itu cukup membuatku terganggu karena meninggalkan sensasi geli di permukaan wajah. Telapak tangan berusaha kujadikan pelindung. Langkah kaki kupercepat agar segera mencapai tempat yang dapat kujadikan tempat berteduh.
Di terminal pakupatan ini, aku tengah menunggu bis yang akan membawaku ke kampung halaman. Akhirnya kusambangi sebuah warung agar tak kebasahan. Berdesakan dengan beberapa orang yang terus saja menggerutu. Padahal kulihat beberapa orang menenteng sebuah payung. Aku mengerutkan alis.
“Kalo pake payung enak nih sebenernya. Nunggu busnya gak harus dempetan di tempat sempit ini,” gerutu lelaki berkaos biru disamping kananku sambil menunjukan payung lipatnya.
“Hus, gak boleh pake payung di sekitar sini! Ada Mak Julai,” timpal seseorang dibelakangnya.
“Iya, tuh, bahaya!” ucap pemilik warung yang tengah kami singgahi. Aku terus mencuri dengar.
Tak lama kemudian, terdengar sebuah teriakan dari sisi kanan terminal. Perhatian semua orang di warung tersebut tertuju kesana. Terlihat seorang gadis tengah berebut sebuah payung dengan wanita paruh baya. Aku terheran.
“Mak Julai kumat,” bisik lelaki disamping kananku itu
“Itu yang namanya Mak Julai?” tanyaku mulai penasaran. “Emang dia kenapa gitu, Kang?” lanjutku.
“Orang gila dia mah, Neng...,” jawabnya
Aku mengerutkan kening. Kulihat tak ada tanda kegilaan pada Mak Julai itu. Tak seperti orang gila lain, Pakaian Mak Julai kulihat cukup rapi. Bahkan bibirnya memakai lipstik.
“Mak Julai gak bisa lihat orang pakai payung, Neng. Pasti langsung direbut dan bertingkah gila,” lanjutnya.
Terlihat disana Mak Julai tak lagi saling berebut payung. Nampaknya sang gadis telah merelakan payungnya dan meninggalkan tempat itu. Untung seseorang tadi menghampiri mereka dan berbisik sesuatu kepada gadis itu.
Kini mulai nampak keanehan dari Mak Julai. Ia berjalan anggun di pinggiran terminal sambil cekikikan di bawah payung. Posisi Mak Julai lebih kanan dari posisi payung, seperti tengah memposisikan seseorang disampingnya. Ia menengadahkan wajah seperti memandang seseorang yang lebih tinggi di sampingnya. Tertawa lagi, Mak Julai tampak sangat bahagia bercakap dengan udara kosong.
“Mak Julai kalo hari biasanya waras, Neng, tapi gatau kenapa kalo hujan dan ketemu orang pakai payung, dia pasti kumat,” orang berbaju biru disampingku ini terus memberikan informasi.
“Gara-gara cinta,” pemilik warung nimbrung obrolan kami, orang-orang mulai menyimak.
Sebagai rekan Mak Julai sepertinya pemilik warung  lebih tahu banyak informasi. Dia bilang, Mak Julai itu salah satu pemilik warung di Pakupatan. Keseharian Mak Julai layaknya pemilik warung yang lain, buka warung-melayani pelanggan. Tak kan tampak sebuah keanehan kala hari cerah. Namun, Mak Julai akan bertingkah gila kala melihat sebuah payung terkembang saat hujan. Makanya semua keluarganya tak pernah memiliki payung. Bahkan orang-orang di Pakupatan sudah tahu, bahwa haram hukumnya membentangkan payung di sekitar sana karena akan membahayakan kejiwaan Mak Julai. Mak Julai hanya akan waras kembali apabila ia mulai kehilangan kesadaran karena kelelahan bertingkah gila.
Konon, larangan membentangkan payung di Pakupatan ini dimulai lima tahun yang lalu. Kala itu, Mak Julai dengan sang suami merupakan pasangan teromantis yang selalu membuat iri pernghuni Pakupatan. Walau hanya berusaha di warung kecil pinggiran terminal, mereka begitu harmonis tak pernah memusingkan perihal uang seperti pasangan lain. Mereka saling membantu dan sering mengumbar kemesraan dengan suap-suapan nasi rabeg di warung. Sebagai pasangan yang tak pernah terdengar pertengkarannya, pasangan Mak Julai dan suami sering dijadikan panutan bagi pasangan-pasangan muda yang terkadang meminta nasihat cinta pada mereka.
Hingga di suatu saat kala Mak Julai pulang dari Pasar Rau membeli sebuah payung berwarna merah jambu. Kepada para pengunjung warung Mak Julai mulai memamerkan barang beliannya itu. Dia bilang ia akan kencan dengan payung merah jambu bersama suaminya. Tempat romantis itu menurut Mak Julai bisa dimana saja, yang kemudian didukung anggukan suaminya.
“Tuhan tidak hanya menurunkan hujan saat mendung, mungkin saja ada hal lain yang jatuh di atas payung. Cinta misalnya,” pemilik warung menirukan kata-kata Mak Julai kala itu. Aku tersenyum mendengarnya.
“Tapi itu cuma sekali-kalinya, Neng. Pas hujan kaya gini, gerimis kecil-kecil gitu. Mak Julai dan suaminya kencan keliling terminal sampai ke sekitaran jalan Banjar Agung di belakang terminal itu,” lanjut pemilik warung.
“Kan di situ ada sawah ya, Neng. Di sana ternyata ada kerbau lepas. Liat ada payung merah, eh, maen diseruduk. Suami Mak Julai yang sangat mencintai istrinya itu katanya langsung meluk Mak Julai buat ngehalangin. Tapi, ya begitu...,” pemilik warung mengakhiri dengan tatapan nanar.
Aku tak berniat untuk bertanya lebih jauh. Kisah lanjutanya tentu sudah dapat kutebak. Kupandangi rintikan hujan yang masih konsisten dengan tingkat curahannya. Mungkin suasana seperti ini yang dinantikan Mak Julai. Suasana romantisnya.
Lalu kulihat bis jurusan Serang-Kampung Rambutan mulai masuk terminal, hingga kutinggalkan jejak kisah Mak Julai di Pakupatan.
***
Yogyakarta, 29 Januari 2017
Bibi 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

We are CCB…

wanita dan kodratnya

Me and I