Merindu Banjir
Rerincikan hujan masih ramai diluar sana. Ribuan tetes
air itu berlomba untuk menjadi yang tercepat sampai di permukaan tanah. Menciptakan genangan di aspal-aspal
yang mulai rapuh. Meluber, lalu mengalir melalui got dan sampai di sungai Ciliwung.
Seorang pemuda dengan secangkir kopi mengepul
dihadapannya tengah menghadap jendela. Memandangi kumpulan air yang saling
berkejaran itu. Ia merasa seperti tengah menaiki ferarri yang berlipat lebih
cepat, lalu sampai di bendungan sebagai finishnya.
“Siaga 1, Siaga 1, Ketinggian air bendungan Katulampa
Senin 10 Januari 2028 Pukul 15.00 WIB mencapai
200 cm diatas normal. Akan sampai bendungan Manggarai dalam dua jam.”
Setelah mendapat pesan tadi, sang pemuda langsung menuju
computer yang tersedia diruangan itu lalu menekan beberapa tombol. Otomatis
setelah itu enam pintu bendungan dibawah ruangan itu terbuka. Lantas ia kembali
melanjutkan aktifitasnya, memandang wajah Ciliwung.
Mungkin jika pesan tadi diterima 14 tahun yang lalu,
petugas pintu akan dengan panik memberitahukan warga agar segera dievakuasi.
Tapi sekarang berbeda… Ciliwung telah berubah.
*
“Ayo, Men! Cepat! kamu bawa baju-baju ini terus ikutin Pak
RT. Nanti Bibi sama Mamang nyusul.” Seorang wanita setengah baya menjulurkan
satu buntelan pakaian ke bocah kecil dihadapanya.
Sang bocah yang dipanggil Omen itu nampak kelimpangan
menerima buntelan yang besarnya lebih dari setengah tubuhnya. Lantas ia segera
melaksanakan instruksi sang Bibi, keluar mencari Pak RT lalu mengikutinya.
Bersama warga Omen berbondong-bondong mengikuti Pak RT
menuju tempat pengungsian di desa sebelah. Kabarnya beberapa desa di bantaran
kali Ciliwung terancam banjir sore ini. Dari 13 sungai yang mengalir
di Jakarta, memang Ciliwung yang memiliki dampak paling luas ketika musim
hujan karena ia mengalir melalui tengah kota Jakarta dan melintasi banyak
perkampungan, perumahan padat, dan permukiman-permukiman kumuh. Beberapa rumah
yang berada tepat dipinggir kali malah telah terendam setinggi lutut orang
dewasa. Maka, pemerintah setempat menghimbau warga agar segera mengungsi.
“Para warga sekalian, kita sudah sampai. Untuk sementara
kita menginap di tempat ini, dan meninggalkan zona nyaman kita. Kita berdoa
saja semoga musibah ini segera usai.” Pak RT memberikan himbawan kepada seluruh
warga saat mereka tiba disebuah Aula Sekolah yang dijadikan tempat pengungsian
warga beberapa desa.
“Anggap saja kita sedang wisata out door!” guraunya.
Tapi gurauan Pak RT nampaknya tak mampu menenangkan para
warga. Mereka malah kasak-kusuk mengeluhkan sempitnya aula juga terbatasnya
sarana yang terdapat disana.
Asyik… ngungsi!, batin Omen girang. Walau samar, mata dan Bibirnya tersenyum.
“Silahkan, Pak. Bu. Pilih saja tempat dimana kalian
merasa nyaman, mumpung masih kosong,” dengan santun, kembali Pak RT menunjukan
ruangan luas yang baru terisi beberapa pengungsi itu.
“Mau dimanapun itu gak akan ada yang senyaman dirumah sendiri,”
seorang ibu nampak sewot
“Lha, memang ini bukan di rumah toh?” seorang warga
menimpali
“Ya, emang! Tapi denger Pak RT ini kok kaya orang yang
bukan kena musibah saja. Terlalu santai. Nganggep tempat ini udah kaya hotel.
Mau gimanapun pengungsian mah tetep aja pengungsian, pak!” si ibu yang sewot
tadi mencoba menasehati. Sedang yang dinasehati hanya mẻsem.
Capek dengan argumennya yang tak digubris, si ibu tadi
akhirnya menyerah. Iapun bergabung dengan beberapa ibu-ibu yang sudah
dikenalnya.
Omen sendiri, dengan buntelan yang masih dipikulnya
tengah menimbang-nimbang tempat mana yang nyaman untuk ia dan Mamang-Bibinya.
Setelah lama menimbang, akhirnya ia memilih salah satu pojokan yang belum
ditempati oleh siapapun.
Sebagai seorang bocah berusia delapan tahun, Omen cukup
sigap. Ia membuka buntelan yang dibawanya lalu mengambil sehelai kain yang
kemudian dijadikannya alas. Lantas terlentang diatasnya, memejamkan mata.
Berbeda 180o dengan warga kebanyakan, Omen
malah sangat menunggu momen banjir. Bocah ini begitu menikmati suasana
pengungsian. Benar seperti kata Pak RT ini adalah wisata, setidaknya bagi Omen
sendiri. Bagaimana tidak? Disini ia bisa tidur lebih layak diatas ubin-ubin
keramik, tidak seperti di rumah Bibinya yang beralaskan tanah. Disini ia juga
tak kebasahan lagi karena atap-atap rumah yang kalau bocor sudah seperti
berteduh dibawah pohon.
“Men! bangun, Men!” BibiOmen mengguncang-guncang tubuh
bocah itu. tampak sang bocah menggeliat lalu terbangun.
“Makan dulu, yuk! Mamang
baru ngambil bagian nasi nih di dapur umum,” lanjutnya. Omen hanya mengangguk
ia baru sadar ternyata hari sudah sore dan Mamang-Bibinya sudah disini.
“Makan yang banyak, ya. Si Mamang ngambil enam bungkus
tadi,”BibiOmen berbisik sambil memberikan sebuah nasi bungkus.
Dengan wajah sumringah, Omen membuka bungkusan itu. sudah
bisa ia tebak, ada sepotong ayam goreng disana. Lantas langsung dilahapnya.
Ini yang selalu Omen tunggu-tunggu, makanan di
pengungsian. Biasanya untuk makan sepotong daging ayam saja ia harus menunggu
lebaran. Tapi jika dia sudah ada di pengungsian, tak perlu menunggu lagi, ia
akan mendapat jatah tiga kali sehari. Belum lagi kalau Mamangnya mengambil
jatah lebih, ia pasti akan lebih kenyang.
*
“Terima kasih, Pak.” Ucap Omen sambil mencium tangan Pak Jatmika.
Katanya ia adalah seorang caleg. Ia datang membawa berpaket-paket makanan yang
siap dibagikan kepada para pengungsi.
Yah, banjir dijadikan sarana popularitas seseorang demi
mencari dukungan. Bukan hanya Pak Jatmika,
masih banyak orang-orang seperti dia datang kemari. Tapi bagi Omendan para
pengugsi lain sih terserah saja orang-orang itu punya niat apapun, yang penting
mereka terbantu.
Omen begitu menikmati ini. dengan mengungsi ia jadi tak
usah lagi capek mengamen untuk beli makan karena makanan akan banyak
berdatangan. Mulai dari Mie, Sarden hingga Susu yang sangat-sangat jarang ia
nikmati. Dan demi itu semua Omen sampai-sampai menyiapkan sebuah kantong untuk
mengisi makanan yang niatnya akan ia bawa pulang. Agar setelah pengungsian ini
selesai ia masih bisa makan makanan enak.
*
“…saya Anita, Koresponden SCTV melaporkan!” seorang
wanita yang nampaknya baru berusia dua puluhan baru saja mewancarai beberapa
warga yang mengungsi. Wartawan dari salah satu stasiun TV itu sudah beberapa
hari ini berada disana. Bukan untuk mengungsi, melainkan untuk melaporkan
keadaan terkini dari situasi banjir yang ada di tempat Omen.
“Eh, eh, kita masuk TV!” bisik seorang anak kepada
temannya yang sedari tadi bermain air di belakang sang reporter.
Mendengar itu Omen menyunggingkan Bibir, ia baru tahu
ternyata selain dia, anak-anak lainpun senang dengan adanya banjir ini. selain
bisa main air sepuasnya, mereka juga bisa masuk TV. Walau gak sengaja, sih.
Memang dengan adanya banjir banyak wartawan, artis dan
orang penting lainnya berdatangan.
Kapan lagi bisa ketemu orang terkenal!, batinnya. Omenbegitu senang! Apalagi
beberapa hari kemarin pengungsian kedatangan Ayu Tingting, artis dangdut terkenal
idola Omen.Yah, Walau Omen masih bocah,ia
sudah jadi penggemar berat Dangdut. Dan
salah satu penyanyi favoritnya ialah sang pelantun lagu “Alamat Palsu” itu.
Tak terbayangkan bahagianya Omen waktu itu. ia
sampai-sampai tak mau makan siang karena tidak mau cuci tangan.
“Gak mau makan, ah Bi!Sayang… Tar kalo cuci tangan, bekas
jabat tangan sama Ayu Tingtingnya ilang.”Omen beralasan saat sang Bibi
menyuruhnya cuci tangan sebelum makan siang.
Bibinya Cuma geleng-geleng melihat tingkah keponakan yang
sudah ia anggap anak sendiri itu. Lantas segera memberi ide agar Omen makan
menggunakan sendok.
*
Hari terakhir pengungsian.
Sebenarnya Omen malas jika harus pulang. Walau air sudah
surut tapi tak menjamin ia dan keluarganya bisa tidur nyaman. Tak seperti
rumah-rumah lain yang tinggal di bersihkan dengan air karena beralaskan ubin
keramik, rumah Omen berbeda. Alas rumah yang hanya tanah itu pasti masih basah.
Harus menunggu beberapa hari cerah lagi untuk membuatnya kering seperti
sediakala.Belum lagi Omen yang diberikan tanggungjawab oleh Mamang-Bibi untuk
membersihkan rumah, ia jadi tambah malas.
Sedikit tak adil memang, seorang bocah delapan tahun
diberi tanggung jawab seperti itu. Tapi Omen lebih dewasa dari umurnya. Ia
mengerti keadaan dan situasi yang dialami.
Semenjak orang tuanya meninggal saat ia masih bayi memang
hanya Mamang dan Bibilah yang ia miliki. Mereka yang ikhlas mengurus Omen
layaknya anak sendiri, membuat Omen tak berani membantah perintah salah
satunya. Lagi pula tugas ini diberikan bukan semata karena Mamang dan Bibinya sedang
ongkang-ongkang kaki, melainkan mereka juga tengah sibuk.
Ternyata, berkah banjir masih terasa bagi keluarga kecil Omen
sekalipun di hari terakhir. Sebagai
seorang pemulung yang telah sepuluh tahun berpengalaman dibidangnya, MamangOmen
tahu betul kondisi setelah pengungsian yang berserakan sampah. Iadengan dibantu
istrinya membersihkan area bekas pengungsian
sekaligus mengumpulkan barang-barang yang layak dijual. Selain mendapat uang dari penjualan barang
bekas yang lumayan banyak itu, mereka juga mendapat upah dari pemerintah
setempat.
“Ayo, Pak! Bu! Mari kita bersihkan kawasan kita ini.
walau sedikit melelahkan tapi kita harus bangkit, karena hidup kita masih
berlanjut ditanah ini,” Pak RT menginstruksi para warga yang telah kembali ke
rumahnya masing-masing.
Yah, ia memang agak lelah menghadapi warganya. Berulang
kali ia berusaha memotivasi agar mereka tak mengeluh dan bangkit, tapi
nasehatnya sering kali hanya jadi ocehan kosong bagi yang mendengarnya. Mungkin
hanya waktu yang bisa membangkitkan kembali semangat para warga itu.
Mendengar instruksi Pak RT Omen langsung bergegas.
Rumahnya yang berhimpitan dengan rumah-rumah warga lain langsung ia masuki dan
ia bersihkan.
Terimakasih, tuhan… atas musibahnya. Omen membatin kala ia menatap air-air itu
mengalir ke comberan yang langsung menuju Ciliwung. Ciliwung yang masih belum
bersahabat.
*
Gelas berisi ampas kopi itu diletakkan saat sebelumnya
seruputan terakhir dinikmati pemuda tadi . Ia menyeringai, mengingat
pemikirannya di masa itu. Omen kecil yang begitu polos.
“Men!” suara seorang lelaki paruh baya membuatnya
terkejut hingga akhirnya menoleh.
“Eh, Mamang!” serunya, lalu digapainyalah tangan keriput
itu, disalim.
“Tugas sampe jam berapa?” tanya Mamang lalu mengikuti
pandangan Omen ke jendela.
“Sampe Jam 10 malem, Mang!”
“Oh, yaudah. Baik-baik, ya…” nasehatnya yang hanya
dijawab anggukan Omen
Baru saja berbalik hendak pulang, sang Mamang memutar
kembali. “Oh, Iya… hampir lupa! Ini singkong goreng dari Bibi, makan, ya!”
jelas Mamang sambil menyeringai, menampakan deretan giginya yang mulai
menghilang.
Omen tertawa lalu mengambil bungkusan yang sebenarnya
sedari tadi ia sudah kira dari Bibi.
“Tuh, kan bener! Mamang udah pikun!” ledeknya.
“Hehe…,” sambil menggaruk-garuk kepala layaknya orang
linglung Mamang pergi.
Omen hanya tersenyum memandangnya.
*
Setelah banjir yang lumayan besar di tahun 2014 itu, dari
tahun ke tahun Jakarta mulai berubah. Pemerintah mulai bergerak dengan
merelokasi seluruh rumah warga yang berada dalam radius 100 meter di bantaran
semua kali di Jakarta. Tidak terkecuali keluarga kecil Omen.
Memang untuk suatu perubahan besar harus ada pengorbanan.
Banyak dari warga yang tidak terima dengan kebijakan ini,
mereka menilai tempat relokasi yang merupakan sebuah rumah susun tak sebanding
dengan tanah mereka yang berada di bantaran kali itu. Belum lagi banyak dari
mereka yang tak kebagian tempat, juga yang kehilangan pekerjaan karena
kehilangan wilayah berdagang. Hingga tak sedikit warga merasa, Jakarta bukan
lagi tempat yang tepat untuk mencari nafkah. Mereka akhirnya pulang ke kampung
halaman.
Omen juga sempat kesal karena harus dipindahkan kesebuah
rumah susun yang artinya tak akan pernah kebanjiran. Dan jika tidak ada banjir
berarti tak ada ngungsi, begitu pikirnya.
Gubernur Jakarta saat itu juga banyak diprotes. Demo dari
mahasiswa dan sipil terjadi dimana-dimana. Mereka menganggap tindakan Gubernur
itu sangat sembrono dan terburu-buru hingga mengorbankan kehidupan warganya.
Tapi sekali lagi, waktulah yang bisa
menjawabnya.
Setelah
pensterilan kawasan bantaran kali, pemerintah menjadikan kawasan itu sebagai
ruang terbuka hijau. Tanaman pengendali erosi
seperti Gamal (Gliricidia) dan Lamtoro
(Leucaena leucocephala) dipilih sebagai pondasi pinggiran kali. Di
sekitarnya barulah ditanami pohon-pohon produktif lain yang hasil panennya
dapat cepat dinikmati seperti buah-buahan.
Dan ternyata benar, waktu membuktikannya.
Waktu itu Omen kecil penasaran, kapan banjir
datang lagi?
Walau bukan pengungsi, tapi masih bisa kan
berpura-pura?
Pikirnya.
Dan
demi itu semua, setiap hari setelah mengamen ia pergi ke Pintu Air. Entah
itu musim penghujan ataupun kemarau, ia selalu datang demi memantau ketinggian
air sambil berharap hari setelahnya banjir.
Namun, harapan Omen tinggal harapan….
Seiring dengan berkembangnya kawasan hijau
dibantaran kali, Jakarta tersenyum lagi. Udara jadi lebih baik untuk dihirup,
pun menambah tempat untuk berteduh.
Selain penghijauan, pemerintah juga melakukan
pengerukan sungai-sungai yang sudah mendangkal. Sampah-sampah yang menyumbat
airpun mulai tak terlihat lagi seiring dengan hilangnya permukiman di sekitaran
kali juga kesadaran masyarakat lainnya. Akhirnya banjir secara berkala
menunjukan angka penurunan hingga tak pernah datang lagi.
Walau kenyataan seperti itu, si kecil Omen
yang beranjak dewasa tetap menaruh harapan dengan tak pernah berhenti mengamati
air.
Lama setelah itu. Kala Kepala Pintu Air
mempercayakannya menjadi salah satu pejaga pintu, omen baru menyadari. Ternyata
Ciliwung sudah jadi bagian dari dirinya dan Pintu Airlah sang perantara
pertemuan mereka. Ia mengamati sekeliling. Tak ada lagi keluh disekitarnya. Yang
ada hanya senyum dari mereka yang menikmati hijaunya Jakarta.
Terimakasih, tuhan… atas karunianya! Batin Omen yang tak lagi merindu banjir. ***
Ditulis Pada 2014
Oleh : Ani Apriani
Komentar
Posting Komentar